Sintesis
Pengetahuan
‘Disiplin
Positif Wujudkan Budaya Positif di Sekolah’
Oleh : Putu Eka Juliana Jaya, S.E., M.Si
Modul : 1.4
Fasilitator : Drs. Yuli Cahyono,
M.Pd
Pendamping : I Komang Witarsa, M.Pd
Tanggal : 5-12-2020
Adalah
normal bila ada pro kontra, atau setuju dan tidak setuju dalam memperkenalkan
perubahan baru dalam suatu organisasi. Program Guru Penggerak (PGP) ini
menyeleksi dan memilih beberapa kandidat terbaik yang diharapkan mampu menjadi
agen perubahan dalam trasnformasi system pendidikan nasional Indonesia. Tidak
setiap sekolah mampu mengirimkan wakilnya karena seleksi yang sangat ketat.
Pada sekolah saya, hanya saya yang lolos berhasil mendapatkan kesempatan
mengenyam pendidikan sebagai calon guru penggerak. Hal ini membanggakan, dan
membuat semangat, serta bahagia. Namun juga menjadi tantangan sendiri, karena
beban yang diberikan di pundak saya untuk dapat mengimbaskan apa yang saya
dapatkan di PGP tersebut di atas.
Kembali
pada pro kontra suatu terobosan baru dalam pola pengajaran, yang kebetulan kali
ini berkaitan dengan upaya mencapai budaya positif melalui pendekatan disiplin
positif daripada hukuman atau celaan. Saya memilih mendekati rekan sejawat
dengan mengajak nya berdiskusi seperti pola refleksi yang saya alami dalam PGP
ini. Pola refleksi serupa itu, mengingatkan rekan sejawat saya tentang
bagaimana guru impian yang dia dambakan semasa kecil. Sekaligus refleksi itu
mengingatkan dia tentang bagaimana kesakitan yang ditimbulkan oleh guru atau
orang lain saat dia kecil dulu masih tetap tertanam hingga kini, bahkan
memperngaruhi keyakinannya tentang efektifnya sebuah kekerasan fisik dan verbal
dalam mendisiplinkan murid. Padahal di sudut hati terdalam dia terluka dan
tidak menyukai perlakuan itu. Itu adalah cara pertama saya mendekati rekan
sejawat saya yang berbeda pola mengajar.
Cara
berikutnya adalah dengan mengusulkan diadakan pelatihan tentang budaya positif
di sekolah kepada Kepala Sekolah dengan mengambil nara sumber terbaik yang bisa
diundang. Dengan meratanya pengetahuan dan wawasan tentang pentingnya didiplin
positif untuk membentuk budaya positif, bersumber dari sumber yang dipercaya,
niscaya terwujud budaya positif yang didambakan. In berkontribusi bagi
terwujudnya generasi sopan, santun, berbudaya positif yang kita semua dambakan.
Menjadikan
sekolah sebagai rumah yang aman, nyaman dan bermakna bagi murid sepertinya
sudah menjadi hal yang umum diinginkan semua pihak. Namun, dalam prakteknya,
kalimat tersebut bukan kalimat yang mudah untuk diwujudkan karena diperlukan
perubahan yang mendasar dan upaya yang konsisten. Menurut Evans (2001), untuk
memastikan bahwa perubahan terjadi secara mendasar dalam operasional sekolah,
maka para pemimpin sekolah hendaknya mulai dengan memahami dan mendorong perubahan
budaya sekolah. Tugas kepemimpinan adalah menciptakan keselarasan
kekuatan, dengan cara yang membuat kelemahan suatu sistem menjadi tidak
relevan. Hal ini siebutkan oleh Peter F. Drucker dalam pandangannya tentang
inkuiri apresiatif.
Walaupun
sulit, reformasi budaya sekolah bukanlah hal yang tidak mungkin. Untuk
melakukannya diperlukan orang-orang yang bersedia melawan arus naif tentang
inovasi dan terbuka terhadap kenyataan yang bersifat manusiawi. Perubahan yang
positif dan konstruktif di sekolah biasanya membutuhkan waktu dan bersifat
gradual. Oleh karena itu, sebagai pemimpin, guru penggerak hendaknya terus
berlatih mengelola diri sendiri sambil terus berupaya menggerakkan orang lain
yang berada di bawah pengaruhnya untuk menjalani proses bersama-sama. Hal ini
perlu dilakukan dengan niatan belajar yang tulus demi mewujudkan visi sekolah.
Ketika
kita berbicara sekolah sebagai institusi pembentukan karakter. Mari kita ingat
kembali makna pendidikan sendiri dari Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar
Dewantara:
“Adapun
maksud pendidikan yaitu: menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya” (dikutip dari buku Ki
Hajar Dewantara seri 1 pendidikan halaman 20). Dari kutipan tersebut
mengisyaratkan kita sebagai guru perlu membangun komunitas di sekolah untuk
menyiapkan murid di masa depan agar menjadi manusia berdaya tidak hanya untuk
pribadi tapi berdampak pada masyarakat.
Pertanyaannya
sekarang adalah karakter seperti apa yang bisa menyiapkan murid menjadi manusia
dan anggota masyarakat untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan seperti
tujuan pendidikan sendiri. Jika kita mengacu pada dasar negara kita yaitu,
Pancasila, ada beberapa karakter yang dapat kita contoh, antara lain: Beriman,
Bertaqwa kepada Tuhan YME dan Berakhlak Mulia, Kreatif, Gotong Royong,
Berkebhinekaan Global, Bernalar Kritis dan Mandiri.
Kita
seringkali memandang bahwa hukuman adalah bentuk yang sama dengan proses pen-disiplin-an
dan memberikan hukuman sebagai salah satu langkah dalam proses disiplin murid.
Padahal, disiplin dan hukuman memiliki arti yang berbeda dan memberikan efek
yang sangat berbeda dalam pembentukan diri murid. Pada umumnya orang sering
melihat 'disiplin' sebagai hal yang sama dengan 'hukuman', namun disiplin dan
hukuman adalah dua hal yang berbeda.
Disiplin
merujuk pada praktik mengajar atau melatih seseorang untuk mematuhi peraturan
atau perilaku dalam jangka pendek dan jangka panjang. Sementara hukuman
dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku
murid. Disiplin dimaksudkan untuk mengembangkan perilaku para murid
tersebut serta mengajarkan murid tentang kontrol dan kepercayaan diri dengan
berfokus pada apa yang mampu mereka pelajari.
Menerapkan
pendekatan disiplin positif dapat membantu sekolah memainkan peran penting
dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan manusiawi. Murid cenderung
menjadikan orang dewasa sebagai model; jika
murid melihat orang dewasa menggunakan kekerasan fisik atau psikologis,
mereka akan belajar bahwa kekerasan dapat diterima sehingga ada kemungkinan
mereka akan menggunakan kekerasan terhadap orang lain. Sekolah memiliki peran
penting dalam membimbing, memperbaiki, dan mensosialisasikan kepada murid mengenai perilaku yang sesuai. Agar
perubahan berhasil, diperlukan pendekatan terkoordinasi yang melibatkan semua
peran di komunitas sekolah. Sekolah perlu bekerja dengan orangtua untuk
memastikan konsistensi antara rumah dan sekolah, serta membekali mereka dengan
informasi dan alat untuk mempraktikkan disiplin positif di rumah. Berikut peran
dan tanggung jawab berbagai struktur sekolah meliputi guru, kepala sekolah dan
orang tua murid.
Jadi,
disiplin positif adalah sebuah pendekatan yang dirancang untuk mengembangkan
murid untuk menjadi pribadi dan anggota dari komunitas yang bertanggung jawab,
penuh hormat, dan kritis. Disiplin positif mengajarkan keterampilan sosial dan
kehidupan yang penting dengan cara yang sangat menghormati dan membesarkan hati,
tidak hanya bagi murid tetapi juga bagi
orang dewasa (termasuk orangtua, guru, penyedia penitipan anak, pekerja muda,
dan lainnya).
Disiplin
positif bertujuan untuk bekerja sama dengan siswa dan tidak menentang mereka.
Penekanannya adalah membangun kekuatan peserta didik daripada mengkritik
kelemahan mereka dan menggunakan penguatan positif (positive reinforcement)
untuk mempromosikan perilaku yang baik. Hal ini melibatkan memberikan
siswa-siswi pedoman yang jelas untuk perilaku apa yang dapat diterima dan
kemudian mendukung mereka ketika mereka belajar untuk mematuhi pedoman ini.
Pendekatan ini secara aktif mempromosikan partisipasi anak dan penyelesaian
masalah dan di saat yang bersamaan juga mendorong orang dewasa, dalam hal ini
yaitu pendidik, untuk menjadi panutan positif bagi anak-anak muda dalam
perjalanan tumbuh kembang mereka.
Seringkali
permasalahan dengan murid berkaitan dengan komunikasi antara murid dengan guru,
terutama ketika murid melanggar suatu aturan dengan alasan tidak mengetahui
adanya aturan tersebut. Kurang adanya komunikasi ini menyebabkan relasi murid
dan guru menjadi kurang akur. Salah satu langkah dalam menerapkan budaya
disiplin positif adalah dengan membentuk lingkungan kelas yang mendukung
terciptanya budaya positif, yaitu dengan menyusun kesepakatan kelas.
Kesepakatan kelas yang efektif dapat membantu dalam pembentukan budaya disiplin
positif di kelas. Hal ini juga dapat membantu proses belajar mengajar yang
lebih mudah dan tidak menekan.
Kesepakatan
kelas berisi beberapa aturan untuk membantu guru dan murid bekerja bersama
membentuk kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kesepakatan kelas tidak hanya
berisi harapan guru terhadap murid, tapi juga harapan murid terhadap pengajar.
Kesepakatan disusun dan dikembangkan bersama-sama antara guru dan murid.
Dalam
menyusun kesepakatan kelas, guru perlu mempertimbangkan hal yang penting dan
hal yang bisa dikesampingkan. Murid dapat mengalami kesulitan dalam mengingat
banyak informasi, jadi susunlah 4 - 8 aturan untuk setiap kelas. Jika
berlebihan, murid akan merasa kesulitan dan tidak mendapatkan makna dari
kesepakatan kelas tersebut. Kesepakatan harus disusun dengan jelas sehingga
murid dapat memahami perilaku apa yang diharapkan dari mereka.
Kesepakatan
yang disusun perlu mudah dipahami dan dapat langsung dilakukan. Kesepakatan
perlu dapat diperbaiki dan dikembangkan secara berkala, seperti setiap awal
semester. Untuk mempermudah pemahaman murid, kesepakatan dapat ditulis,
digambar, atau disusun sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dan disadari
oleh murid. Strategi lain adalah dengan mencetaknya di setiap buku laporan
kegiatan murid. Hal ini menjadi strategi yang baik untuk meningkatkan
komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah.
Apakah
yang dimaksud dengan Budaya Positif? Apa pula kaitannya dengan karakter murid
di masa depan? Bagaimana melibatkan stake holder dalam menerapkan budaya positif?
Akan dapat dipahami lebih dalam setelah mengamati question and answer berikut ini.
1.
Ceritakan pengalaman ketika Anda menjadi
murid dulu, adakah pengalaman buruk yang membekas terkait dengan budaya
sekolah? Bagaimana? Apa yang Anda rasakan saat itu? Adakah dampak yang
dirasakan? Apakah dampak tersebut berpengaruh hingga saat ini?
Pengalaman
saya sebagai murid sangat seru. Pengalaman buruk tidak ada, namun pengalaman
seru sangat banyak. Saya pernah dilempar penghapus "gedubrag" di
depan saya oleh Guru SD, mapel Bahasa Indonesia saya karena dianggap berisik di
kelas. Juga pernah dipukul pakai penggaris kayu besar di pelipis dan pipi oleh
Guru Sejarah saya Pak Darmadi di SMP. Saya hanya kaget dan menjadi
"benci" pada Guru-guru itu, malah sampai sekarang... hahaha Dampaknya
saya jengkel dan tak menaruh hormat pada mereka. Saya anggap mereka menilai
sepihak murid yang dianggap "berisik".
Dampak
tersebut masih berpengaruh, saya bertekad menjadi Guru yang lebih memahami anak
didik saya, saya menjadi lebih mengerti karakter murid.
2.
Ceritakan pengalaman ketika Anda menjadi
murid dulu, adakah pengalaman berkesan yang membekas terkait dengan budaya
sekolah? Bagaimana, apa yang Anda rasakan saat itu, adakah dampak yang
dirasakan?
Pengalaman
berkesan adalah saat pelajaran prakarya. Saya diajar menjahit oleh Bu Guru, Ibu
Listiani... Beliau sabarrrr mengajar saya mengerjakan berbagai tusukan. Saya
mendapat nilai tinggi 90 dan puas.
Budaya
sekolah selama saya SMA adalah kedisiplinan berpakaian dan tata rambut. Saya
dihukum karena rambut miring potongannya, saya juga dihukum karena rok saya
pendek menurut OSIS. Budaya kekerasan dengan main hukum begitu menjengkelkan,
saya turuti namun tetap jengkel. Dampaknya, saya berjanji memaklumi semua
ekspresi siswa, dan mendekati mereka dengan sayang bila ingin membentuk merka
agar mereka tak jengkel dan tujuan pembinaan tercapai dg baik.
3.
Dari pengalaman Anda menjadi murid, jika
melihat dari perspektif ketika menjadi guru saat ini, budaya sekolah seperti
apa yang berdampak baik pada murid? Sebagai pendidik, hal-hal apa saja yang
dapat Anda lakukan untuk mewujudkan hal tersebut?
Budaya
sekolah yang fleksibel dan dinamis sangat baik dampaknya dan direkomendasikan
agar dapat diterapkan dewasa ini.
4.
Dari pengalaman Anda menjadi murid, jika
melihat dari perspektif ketika menjadi guru, menurut Anda bagaimana budaya
sekolah berdampak pada karakter murid?
Budaya
sekolah itu kumpulan juga dari budaya pribadi gurunya. Kadang, oknum guru
tertentu bertingkah laku sedemikian rupa, menorehkan luka dan kejengkelan
mendalam pada siswanya sampai saat yang lama. Jadi, marilah para guru,
menyayangi murid dengan pendekatan budaya yang baik luhur, penuh kasih sayang.
5.
Dari yang saya pahami, budaya positif di
sekolah iu apa?
Budaya
positif di sekolah adalah suatu kondisi yang berisi kebiasaan yang disepakati
bersama untuk dijalankan dalam waktu yang lama. Jika kebiasaan positif ini
sudah membudaya, maka nilai-nilai karakter yang diharapkan akan terbentuk pada
diri anak.
6.
Harapan & Ekspektasi; Apa saja
harapan yang ingin Anda tumbuhkan pada diri Anda sebagai seorang pendidik dalam
mengembangkan budaya belajar di sekolah?
Harapan
yang ingin saya tumbuhkan terkait budaya belajar di sekolah, saya ingin
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, membahagiakan, seringan mungkin,
sehingga setiap anak mampu menuntaskan semua hal dengan baik semampunya, tepat
waktu dengan limit yang cukup panjang, tanpa tekanan, dan diiringi rasa maklum
dari gurunya.
7.
Apa saja kegiatan, materi, dan manfaat
yang Anda harapkan dalam modul ini?
Kegiatan yang ingin saya harapkan adalah
Elaborasi Konsep yang lebih banyak dari instruktur, sehingga saya mendapat hal
baru yang terkini untuk dapat saya terapkan di kelas/sekolah. Materi yang ada,
saya yakini sudah mumpuni, nanti bisa saya eksplore lagi bila kurang. Manfaat
yang saya harapkan, saya dapat bertumbuh kembang menjadi Guru yang lebih baik,
yang mampu menghantarkan anak-anak kita ke masa depan nya dengan selamat
bahagia, yang mampu menjawab tantangan industri di masa nya nanti.
8.
Dalam pembentukan budaya positif di
sekolah, manakah yang perlu lebih banyak diterapkan, disiplin atau hukuman?
Dalam
pembentukan budaya positif di sekolah terhadap murid, lebih tepat menerapkan
pendekatan disiplin. Disipilin melatih anak menumbuhkan sikap tertentu secara
intrinsik dari dalam dirinya. Dampaknya jauh lebih menetap dan positif bagi
murid, guru dan sekolah. Hukuman menimbulkan kejengkelan dan dendam, kurang
baik bagi hubungan antara murid, guru, sekolah.
9.
Bagaimana menumbuhkan disiplin kepada
murid yang bisa dilakukan di sekolah Anda?
Menumbuhkan
disiplin dengan murid yang ada di sekolah dengan pendekatan kekeluargaan.
Pertama yang harus dilakukan mengenal lebih dekat mapping sifat karakter awal
murid. lalu membuat kesepakatan kelas, dengan berbagai solusinya. Guru
menuntun, memberi teladan, mendampingi, memotivasi selama proses. Selalu ada
solusi dalam setiap deviasi yang potensial muncul.
10.
Sebagai pendidik, apa yang ingin dicapai
dari sikap menumbuhkan disiplin kepada murid?
Saya
menumbuhkan sikap disiplin pada murid tentu ingin mencapai tujuan mulia
tertentu. Yaitu menghantarkan anak-anak bertumbuh kembang menjadi insan dewasa
yang selamat berbahagia dan sukses menjadi dirinya di kemudian hari, termasuk
juga menjadi anggota masyarakat yang berbudaya dan siap menghadapi era industri
R.4.0 serta globalisasi. Kedisiplinan tinggi adalah ciri adanya motivasi
intrinsik dalam diri anak itu, dan inilah modal utama hidup sukses nyaman
selamat bahagia dalam masyarakat.
11.
Jelaskan
apa saja langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menyusun kesepakatan kelas:
a.
Tanya pendapat murid.
b.
Tanyakan ide murid untuk mencapai kelas
impiannya.
c.
Ambil kesimpulan dari ide murid.
d.
Ubah ide menjadi kesepakatan kelas.
e.
Tanda tangani kontrak kesepakatan
f.
Lihat bersama poster kontrak
kesepakatan.
12.
Siapa sajakah yang turut berperan dalam
pembentukan kesepakatan kelas?
Guru
dan Murid bersama
13.
Bagaimana penerapan kesepakatan kelas
dapat membangun budaya positif?
Kesepakatan
kelas mengandung dan mencerminkan tanggung jawab bersama, sehingga setiap yang
bersepakat memiliki rasa yang besar untuk mewujudkannya. Kondisi yang rela dan
tanpa paksaan inilah bagian dari budaya positif; ada nilai saling menghormati,
menjaga, dan ketertiban di dalamnya.
14.
Apa saja yang perlu diantisipasi agar
kesepakatan kelas tersebut dapat diterapkan secara berkesinambungan?
Hal
yang perlu diantisipasi adalah konsistensi dan komitmen dari pembuat dalam
mematuhi aturan yang ditulis dan ditandatangani. Jangan poster kesepakatan itu
hanya menjadi hiasan saja, suatu pemenuhan administrasi saja, sehingga sama
sekali akhirnya tak memiliki makna apapun dalam semangat kita menumbuhkan
disiplin dan budaya positif bagi murid yang merupakan anak bangsa kita.
=============wawa@spensa=============
Rancangan Tindakan Untuk Aksi Nyata
|
|
|
|
|
|
Judul
Modul |
REFLEKSI BUDAYA POSITIF (Disiplin Positif Wujudkan
Budaya Positif di Sekolah) |
|
|
|
Nama
Peserta |
PUTU EKA JULIANA JAYA (SMP Negeri 1 Denpasar) |
|
|
|
|
|||
|
Latar
Belakang |
|
||
|
Belum
terwujudnya secara merata siswa yang memahami budaya positif di kelas/sekolah. |
Lini masa
tindakan yang akan dilakukan |
|
|
|
Belum
maksimal terwujud disiplin positif dan motivasi instrinsik untuk membuat
siswa patuh dan tertib sesuai budaya positif sekolah. |
Tahap
persiapan: 2 hari |
|
|
|
Perlu
dikembangkan perubahan nyata yang lebih optimal yang mengadopsi pendekatan disiplin
positif, serta menghindari hukuman dan celaan bagi stake holders sekolah yang
mencerminkan budaya positif sekolah. |
Tahap
pelaksanaan (pengumpulan data dan informasi terkait): 5 hari |
|
|
|
Tujuan |
Tahap
pengolahan data dan wawancara (2 hari) |
|
|
|
Terwujudnya
secara merata siswa yang memahami budaya positif di kelas/sekolah. |
Tahap
evaluiasi & pembuatan laporan: 1 hari |
|
|
|
Terwujud penerapan
disiplin positif dan tumbuhnya motivasi instrinsik dalam membuat siswa patuh
tertib yang mencerminkan budaya positif sekolah. |
Dukungan
yang dibutuhkan |
|
|
|
Terwujud
peran nyata stake holders yang semakin optimal dengan mengadopsi pendekatan disiplin
positif, serta menghindari hukuman dan celaan sesuai budaya positif di
sekolah. |
Kuota
internet dan jaringan internet; disediakan oleh sekolah dan diberikan bantuan
oleh Kemdikbud |
|
|
|
Tolok Ulur |
Ijin dan
persetujuan Kepala Sekolah & Komite. |
|
|
|
Tercapainya
secara merata siswa yang memahami budaya positif di kelas/sekolah. |
Laptop, computer, printer; disediakan oleh sekolah. Handphone;
milik pribadi |
|
|
|
Disiplin positif
dapat diterapkan secara baik, motivasi instrinsik siswa tumbuh merata, dalam
membuat siswa patuh dan tertib sesuai budaya positif sekolah. |
Aplikasi Microsoft
Office; disediakan oleh sekolah dan milik pribadi |
|
|
|
Tercapai sosialisasi
dan penerapan pendekatan disiplin positif sehingga makin optimal dalam mengembangkan
budaya positif di sekolah |
Aplikasi Google
Meeting dan Google Classroom; disediakan oleh sekolah dan milik
pribadi |
|
|
|
|
|
|
|
Referensi:
Center
for Curriculum Redesign. (2015). Character Education for the 21st Century: What
Should Students Learn?. Boston, Massachusetts.
Centre
for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic Education. (2012).
Positive Discipline and Classroom Management-Course Reader. Cape Town.
Durrant, Joan,. (2010). Positive Discipline in
Everyday Teaching: A guide for educators. Save the Children, Sweden.
Gossen,
D. (2004). It's All About We: Rethinking Discipline Using Restitution. Diakses
dari https://www.summiteducation.ca/five-positions-of-control/
Gossen,
D. (1997). It’s Okay To Make Mistakes. Diakses dari https://www.esd.ca/Programs/Restitution/Documents/It's%20Okay%20to%20Make%20Mistakes%20Article.pdf
Graff, Chelsea E. (2012). The effectiveness of
Character Education Programs in Middle and High Schools. Counselor Education
Master’s Theses, 127.
Hajar,
Ki Dewantara, Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, (Yogyakarta:
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 2004)
Kemdikbud
RI, 2020; https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/10/kemendikbud-selenggarakan-program-pendidikan-bagi-calon-guru-penggerak
Lickona
Ph.D, Tom; Schapsa Ph.D, Eric; Lewis Ph.D, Catherine. (2002). Eleven Principles
of Effective Character Education. Character Education Partnership
(www.character.org)
Nofijantie,
Lilik. (2012). Peran Lembaga Pendidikan Formal Sebagai Modal Utama Membangun
Karakter Siswa.Conference Proceedings: Annual International Conference on
Islamic Studies (AICIS XII). 2947 - 2970
Positive
Discipline. (2020). Positive Discipline: Creating respectful relationships in
homes and schools. www.positivediscipline.com/what-is-positive-discipline.html.
RAPCAN.
(2008). A Educator’s Guide to Positive Discipline. Diakses dari
www.rapcan.org.za/File_uploads/Resources/teaching%20positive%20discipline%20screen.pdf
Saksono, Gatut Ign, 2010, Pendidikan Yang Memerdekakan
Siswa, Diandra Primamitra Media, Yogyakarta.
Setkab RI, 2020; https://setkab.go.id/kemendikbud-luncurkan-merdeka-belajar-5-guru-penggerak-sebagai-pendorong-transformasi-pendidikan/
Sutiyono, 2010, “Pendidikan Seni Sebagai Basis
Pendidikan Karakter Multikulturalis” dalam Cakrawala Pendidikan Jurnal Ilmiah
Pendidikan, No. XXIX. Edisi Khusus Dies Natalis UNY, Ikatan Sarjana Pendidikan
Indonesia D.I. Yogyakarta.
===========wawa*smpn1denpasar===========
Komentar
Posting Komentar